Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
Daerah

PSI Tangsel Inisiasi Raperda Penanganan Konflik Sosial, Membangun Kota yang Harmonis dan Tangguh

4
×

PSI Tangsel Inisiasi Raperda Penanganan Konflik Sosial, Membangun Kota yang Harmonis dan Tangguh

Sebarkan artikel ini
Ketua Fraksi PSI DPRD Kota Tangsel, Alexander Prabu.

detak.co.id TANGSEL – Di tengah pesatnya urbanisasi, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berkembang sebagai pusat ekonomi dan pendidikan. Namun, dinamika tersebut juga menghadirkan tantangan sosial yang tidak ringan. Berbagai gesekan antarwarga, persoalan ekonomi, hingga isu keagamaan menjadi potensi konflik yang bisa mengganggu harmoni masyarakat.

Menjawab kondisi tersebut, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD Kota Tangsel menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penanganan Konflik Sosial. Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat perangkat hukum daerah dalam mencegah dan menangani potensi konflik secara komprehensif.

Mengurai Akar Konflik Sosial di Kota Urban

Ketua Fraksi PSI DPRD Kota Tangsel, Alexander Prabu, mengungkapkan bahwa inisiasi Raperda ini berangkat dari fakta lapangan. Dalam lima tahun terakhir, periode 2019–2024, sebanyak 41 konflik sosial tercatat terjadi di Tangsel—atau rata-rata delapan kasus per tahun.

“Konflik di Tangsel beragam, mulai dari konflik sosial, ekonomi, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga keagamaan,” jelas Alex. “Ini menunjukkan bahwa perangkat hukum yang ada belum cukup kuat dalam mencegah terjadinya konflik.”

Menurutnya, regulasi yang ada seperti Perda Ketertiban Umum (Tibum) masih bersifat reaktif. Sementara Raperda Penanganan Konflik Sosial akan menghadirkan pendekatan yang lebih menyeluruh, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan trauma (trauma healing).

Berpijak pada Regulasi Nasional

Alex menegaskan bahwa Raperda ini disusun berdasarkan kerangka hukum yang jelas, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial serta Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 sebagai aturan pelaksananya.

“Kalau di tingkat nasional sudah ada payung hukumnya, maka Tangsel pun perlu memiliki regulasi turunan yang spesifik. Itulah yang kami dorong,” ujarnya.

Kolaborasi Akademisi dan Para Ahli

Agar substansi Raperda matang, PSI menggandeng para akademisi profesional untuk menyusun Naskah Akademik (NA). Mereka ditugaskan meneliti faktor-faktor pemicu konflik sosial di Tangsel.

“Untuk melengkapi NA, kami melakukan FGD dengan MUI, FKUB, FKDM, serta berdiskusi dengan Dinas Pendidikan, Kesbangpol, Dinsos, Satpol PP, dan Bagian Hukum Pemkot,” tutur Alex.

Ia menekankan bahwa kolaborasi lintas pihak penting karena mereka adalah garda depan dalam menangani konflik sosial. “Dari semua pihak yang kami ajak bicara, semuanya sepakat bahwa payung hukum seperti ini sangat dibutuhkan,” tambahnya.

Sinergi Menuju Kota yang Layak Huni

PSI berharap dukungan datang tidak hanya dari DPRD, tetapi juga dari seluruh pemangku kepentingan hingga Pemerintah Kota Tangsel.

“Kalau kita ingin Tangsel menjadi kota yang benar-benar layak huni, semua pihak harus berperan dalam meminimalisir konflik. Sebelum konflik terjadi, harus bisa diredam,” tegas Alex.

Saat ini, Raperda tersebut telah masuk dalam pembahasan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan menunggu proses lanjutan menuju pembahasan Panitia Khusus (Pansus) DPRD.

Menjadi Payung Bersama, Bukan Milik Satu Fraksi

Alex menegaskan bahwa jika nantinya Raperda ini disahkan menjadi Perda, maka itu merupakan milik seluruh masyarakat Tangsel, bukan hanya PSI.

“Kalau nanti sudah menjadi Perda, itu bukan milik PSI. Itu milik seluruh masyarakat Tangsel,” ucapnya.

PSI juga berkomitmen membantu sosialisasi Perda tersebut, baik melalui kegiatan reses anggota dewan, media massa, maupun kerja sama dengan pemerintah kota.

“Raperda ini akan melibatkan banyak pihak, mulai dari Kesbangpol, Bagian Hukum, Dinas Sosial, hingga Dinas Pendidikan. Semua berperan dalam sosialisasi dan pelaksanaannya,” pungkas Alex.

Dengan hadirnya regulasi ini, diharapkan Tangsel dapat tumbuh tidak hanya sebagai kota maju secara ekonomi, tetapi juga kuat secara sosial—sebuah kota yang mampu mengelola perbedaan tanpa konflik dan membangun kebersamaan dalam keberagaman.