Dusun Lebak Dingin, Magrib Hari Kamis
CERPEN, detak.co.id – Langit di dusun Lebak Dingin sedang berwarna tembaga ketika adzan magrib berkumandang. Waktu yang sakral, kata para kyai. Tapi bagi Ibu Mariyah, magrib bukanlah waktu suci itu adalah waktu menunggu maut yang tidak pernah datang, hanya mengetuk perlahan lewat suara motor matic Haji Renten yang mendekat.
Dari jendela kayu rumahnya yang dicat setengah hati, ia melihat siluet anak-anak pulang mengaji. Tapi tidak ada yang mampir.
Warung kecilnya dulu ramai, sekarang sepi. Hanya ada beberapa sachet kopi, sabun cuci, dan tiga mi instan yang tinggal menunggu kadaluarsa.
Dulu, ia adalah Mariyah binti Sarmin, pekerja rumah tangga di Riyadh. Dua puluh dua tahun membersihkan marmer, menyiapkan roti pipih, menahan rindu saat Idul Fitri lewat tanpa peluk keluarga.
Tapi gajinya ia kumpulkan seperti air hujan yang jatuh ke tempayan. Ia bangun rumah kecil di kampungnya, membeli sebidang tanah, dan menabung sedikit harapan: membuka warung agar bisa hidup mandiri. “Tak perlu minta ke anak,” katanya dulu.
Tapi harapan selalu menuntut modal. Dan seperti banyak orang lain, ia memilih jalan cepa yaitu pinjaman. Ia tak paham soal bank, apalagi koperasi.
Maka datanglah sosok Ibu Haji Rentenir masyarakat secara umum menyebutnya dengan Bank Emok: dengan berpakaian muslim yang rapi, berkerudung putih, bawa kalkulator dan janji sambil berduduk emok sehingga mendapat julukan sebagai bank emok sambil berujar: “Rp 15 juta, Bu,” katanya dengan suara merdu seperti menjanjikan dan meyakinkan.