Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
BisnisCerpen

Magrib Big Night: Riba di Tanah Leluhur

30
×

Magrib Big Night: Riba di Tanah Leluhur

Sebarkan artikel ini
Maghrib Big Night Riba di Tanah Leluhur, foto:(ilustrasi)

Ia telah menulis surat kecil: “Untuk siapa pun yang membaca ini, jangan pernah percaya bahwa riba bisa ditawar dengan senyum. Karena bunga tak pernah layu. Ia hidup dari ketakutanmu, dari ketidaktahuanmu, dan dari diamnya mereka yang mengerti tapi memilih bungkam.”

Epilog: Nyanyian Tak Selesai Cerita ini belum usai. Karena Magrib Big Night bukan hanya tentang Ibu Mariyah.

Ini tentang sistem yang menciptakan pemangsa, menyamar sebagai penyelamat. Tentang masyarakat yang lebih suka menyalahkan korban daripada membongkar kejahatan yang disepakati bersama.

Dan tentang satu pertanyaan: Apakah kita akan tetap diam, menonton bunga tumbuh dari luka orang miskin?

Bangkrut Batin, Tapi Bukan karena Malas, Orang bilang dia malas. Padahal setiap pagi Mariyah bangun sebelum ayam. Bersihkan warung, antar cucunya sekolah, bantu tetangga menjemur padi.

Tapi sistem tak mengenal rajin. Yang dihitung hanya angka, dan angka tak pernah tidur. Ia pernah tanya ke pak RT, “Apakah ini riba?” Pak RT cuma mengusap jidat dan berkata, “Hmmm… begitulah roda ekonomi desa kita, Bu.”

Ketika bunga hutangnya mencapai Rp 2,5 juta per bulan, dan tekanan mental serta sosial mulai merongrong hidupnya.

Dalam kelanjutannya ini, kita akan memperluas tema perjuangan, pengkhianatan sosial, dan harapan kecil yang mulai tumbuh dari ketakberdayaan.

Hari itu, langit mendung, Tapi mendung yang tidak menjanjikan hujan, hanya beban. Di depan warung, Bu Mariyah baru saja menutup pintu kayunya. Dagangan makin sedikit. Bukan karena laku, tapi karena satu per satu dijual untuk membayar bunga.