Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
BisnisCerpen

Magrib Big Night: Riba di Tanah Leluhur

32
×

Magrib Big Night: Riba di Tanah Leluhur

Sebarkan artikel ini
Maghrib Big Night Riba di Tanah Leluhur, foto:(ilustrasi)

Cucu sempat bertanya, “Nenek, kok sekarang gak jual wafer?” Ia hanya tersenyum kecil. Apa gunanya wafer jika keadilan tak pernah semanis itu?*

Gerakan Sunyi: Ibu-Ibu Bersuara, Pagi itu, datanglah seseorang yang tak disangka: Bu Nining, guru PAUD, yang mendengar cerita Mariyah dari tetangga. “Saya tahu Ibu sedang kesulitan,” katanya perlahan.

“Kami sedang membentuk kelompok ibu-ibu anti-rentenir. Kami bantu Ibu lunasi pinjaman — asal kita berani lapor ke komunitas, ke lembaga zakat, bahkan ke Lembaga Zakat.” Bu Mariyah terdiam.

Mulutnya ingin berkata, tapi tubuhnya gemetar. Baru kali ini dalam lima bulan, ada seseorang datang tidak dengan tagihan, tapi dengan niat menolong.

Kabar cepat menyebar, Bu Haji Rentenir tak suka. Ia datang tiga hari kemudian, tidak sendiri, tapi dengan dua pria berbadan besar. Mereka tak mengancam secara langsung. Tapi wajah mereka berbicara lebih nyaring dari kata-kata.

“Ibu, kita sudah bantu Ibu tanpa agunan, tanpa bank. Kalau tidak bisa bayar, ya jangan salahkan bunga. Itu hukum dagang.” Bu Mariyah memejamkan mata. “Kalau hukum dagang bisa membuat orang miskin mati sebelum sempat hidup layak, mungkin yang harus digugat bukan saya, tapi hukum itu sendiri.”

Malam itu, di musholla dusun, belasan ibu berkumpul diam-diam. Mereka membentuk koperasi berbasis Syariah gotong royong. Bunga 0%. Modal dari hasil urunan warga rantau dan dukungan donasi zakat.

Bu Mariyah tak percaya. Tapi perlahan, ia bergabung. Ia mencicil kembali hidupnya, bukan untuk membayar bunga, tapi untuk menebus harga dirinya yang sempat hilang.

Setahun kemudian, wajahnya berubah. Kerutnya tetap ada, tapi kini dengan makna. Warungnya kembali berdiri. Kali ini tidak megah, tapi bersinar.