“Bayar bunga saja Rp 1.5 juta per bulan. Ringan, daripada pinjam ke bank. Saya bantu. Tanpa jaminan.” Mariyah mengangguk, tak sempat berpikir panjang.
Dalam pikirannya hanya satu hal: ini kesempatan. Tapi tak ia tahu bahwa yang berbunga bukan hanya uang, tapi juga jerat.
Sebulan kemudian, warung sepi karena jalan aspal rusak. Bulan ketiga, cucunya sakit. Lalu datang tagihan baru: “Rp 2.5 juta, Bu. Karena bunga bulan kemarin belum dibayar. Jadi pokoknya nambah.”
Pokok menjadi bunga, bunga menjadi akar, dan akar menjadi jerat yang mencengkeram diam-diam.
Di suatu malam di bulan keempat belas, ia mulai mimpi buruk: suara kalkulator berbunyi seperti bel kematian.
Ia melihat dirinya tenggelam dalam tumpukan lembar uang seribuan, dan suara bu haji Rentenir memanggil dari atas, “Ibu… waktu jatuh tempo telah tiba… Masyarakat sekitar tahu. Tapi diam. Beberapa bilang, “Ah, itu riba. Tapi dia sendiri yang mau.” Yang lain bilang, “Kalau dia telat bayar, ya salah sendiri.”
Tak ada yang bicara soal sistem. Tak ada yang peduli bahwa ibu ini dulu disebut pahlawan devisa.
Ironi macam apa, ketika negeri mengutus rakyatnya jadi TKW, tapi ketika mereka pulang, dilepaskan seperti pelanduk di tengah padang rentenir?
Pada malam di bulan ke-17 Ibu Mariyah menjual cincin kawin. Dua ekor ayam peliharaannya juga ikut menghilang.