Tapi itu pun belum cukup. Bu Haji Rentenir hanya mengangkat bahu, lalu mencatat: “Tunggakan bulan ini masih ada. Jadi bulan depan bunga jadi Rp 3 juta ya, Bu.” Angka-angka itu tak pernah mati.
Ia seperti cacing yang terus menggeliat, tumbuh meski tak disiram, berkembang meski tak diberi cahaya, Suatu malam, ia berbicara sendiri di warung kosongnya.
“Dulu saya kerja untuk keluarga Arab. Tapi yang menyiksa saya bukan mereka. Yang menyiksa saya adalah sistem yang saya kira bagian dari kampung halaman sendiri.”
Anaknya pernah menyuruhnya lapor polisi. Tapi ke mana harus bicara, jika semua orang menganggap pinjaman itu “kesepakatan halal”? Ibu Mariyah bukan satu-satunya.
Di dusun sebelah, ada Pak Leman, mantan sopir Lintas Jawa, yang jual sawah karena gagal bayar utang motor. Di kota kecamatan, ada Bu Ati, mantan buruh pabrik yang jual ginjal suaminya demi lunasi utang koperasi haram.
Suatu Malam di bulan ke-20. Bu Haji Rentenir tidak datang. Tapi itu bukan kabar baik. Ia kirim dua pemuda tanggung berjaket kulit.
“Titip salam dari Bu Haji. Minggu depan terakhir. Kalau tidak ada, kita angkut kulkas dan motor cucu ya, Bu.” Ibu Mariyah hanya menunduk.
Di dapur, air mendidih terlalu lama, mie instan jadi bubur. Tapi ia tidak makan. Ia hanya menatap selembar foto masa muda di depan Ka’bah, tersenyum. Di balik foto itu tertulis: “Kembali sebagai orang bebas, bukan budak.”
Hari ke-100, langit Lebak Dingin kembali memerah. Tapi kali ini, tak ada motor mendekat. Di kursi kayu itu, Ibu Mariyah duduk diam. Tak ada air mata. Hanya senyum tipis.