Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
Gaya HidupInternasional

Bagaimana Cara Manusia Purba Bertahan dari Kekeringan dan Kebakaran Hutan?

4
×

Bagaimana Cara Manusia Purba Bertahan dari Kekeringan dan Kebakaran Hutan?

Sebarkan artikel ini

detak.co.id Jakarta – Sekitar 2,75 juta tahun yang lalu, manusia purba di Kenya hidup dalam kondisi alam yang jauh dari nyaman. Tanpa pertanian, tanpa kota, dan tanpa teknologi modern, mereka harus menghadapi perubahan iklim ekstrem yang ditandai dengan angin kencang, panas, kekeringan, hingga kebakaran hutan.

Di tengah kerasnya lingkungan itu, para peneliti menemukan bahwa kecerdikan sederhana menjadi kunci utama kelangsungan hidup mereka: perkakas batu.

Bertahan Hidup dengan Perkakas Batu

Temuan ini berasal dari situs arkeologi Namorotukunan, di timur laut Cekungan Turkana, Kenya. Berdasarkan artefak yang ditemukan di sana, para peneliti menyimpulkan bahwa selama hampir 300.000 tahun, manusia purba berulang kali datang ke sungai-sungai yang sama. Di tempat itulah mereka memukul batu menjadi serpihan tajam untuk digunakan sebagai alat potong.

Dengan serpihan batu tajam, manusia purba memotong daging dan tanaman keras, memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah.

Penelitian Arkeologi di Cekungan Turkana

Penelitian ini dilakukan oleh tim internasional dari berbagai lembaga, termasuk Universitas Arkansas, Universitas George Washington, dan Institut Max Planck. Mereka meneliti lapisan tanah purba yang menyimpan jejak kehidupan selama ratusan ribu tahun.

Dalam studi tersebut, para ilmuwan menemukan tiga lapisan arkeologi berbeda dengan usia masing-masing:

2,75 juta tahun

2,60 juta tahun

2,44 juta tahun

Dengan analisis geologi dan kronologi, tim menelusuri bagaimana lingkungan berubah di setiap periode. Untuk merekonstruksi iklim dan vegetasi masa lalu, mereka menggunakan berbagai proksi paleoenvironmental, di antaranya:

Mikrofosil tumbuhan

Arang mikro (jejak kebakaran)

Komposisi kimia tanah

Isotop karbon

Sifat magnetik batuan

“Fakta bahwa peralatan batu awal di Kenya ini ditemukan di situs-situs yang menyimpan berbagai macam arang mikro—yang berpotensi mewakili api—hingga kekeringan, dan tanda-tanda kekeringan lainnya sungguh menarik,” ujar Amelia Villaseñor, dosen antropologi Universitas Arkansas, dikutip dari laman kampus, Minggu (16/11/2025).

Perubahan lingkungan tersebut kemudian dikaitkan dengan pola perilaku manusia purba yang tetap konsisten menggunakan alat batu selama ratusan ribu tahun.

“Hominin kemungkinan besar menggunakan peralatan batu untuk mengakses sumber daya baru agar dapat bertahan hidup,” ucapnya.

Teknologi Oldowan: Cikal Bakal Perkakas Modern

Dari hasil penggalian di Namorotukunan, tim menemukan lebih dari 1.200 artefak batu, kebanyakan berupa serpihan tajam dan inti batu sederhana. Bentuk dan cara pembuatannya menunjukkan ciri khas teknologi perkakas Oldowan, salah satu tradisi teknologi tertua dalam evolusi manusia.

Analisis 3D dan morfometrik mengungkap bahwa manusia purba memukul batu pada sudut yang sama selama ratusan ribu tahun, menunjukkan adanya tradisi teknologi yang stabil, terlatih, dan diturunkan lintas generasi.

Situs Namorotukunan ini menjadi bukti paling awal teknologi Oldowan di Formasi Koobi Fora. Dalam publikasi di Nature Communications pada 4 November 2025, para peneliti menulis bahwa studi tersebut menyoroti interaksi antara pergeseran lingkungan dan inovasi teknologi sebagai faktor penting dalam jalannya evolusi manusia.

Kecerdikan yang Melampaui Zaman

Bagi tim peneliti, penggunaan alat batu ini bukan sekadar langkah praktis, melainkan bentuk adaptasi cerdas manusia purba terhadap alam. Perkakas batu dalam tradisi Oldowan dipandang sebagai cikal bakal pisau dan alat kerja modern, simbol ketahanan manusia pada awal evolusinya.

“Namorotukunan menawarkan perspektif langka tentang dunia yang telah lama berubah—sungai yang terus mengalir, kebakaran yang melanda, dan peralatan yang tak tergoyahkan,” ungkap Dan V. Palcu Rolier, peneliti geosains dari Universitas São Paulo yang juga salah satu penulis studi.

Bertahan di Tengah Kekeringan dan Kebakaran Hutan

Peneliti menemukan bahwa kawasan yang dahulu lebat dan rimbun secara perlahan berubah menjadi padang rumput kering dan semi-gurun. Meskipun demikian, manusia purba tetap bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya terbatas di sekitarnya.

Mereka menggunakan batu kalsedon, bahan yang keras dan relatif langka, yang dipilih secara cermat untuk membuat alat-alat tajam.

Villaseñor menjelaskan, sinyal isotop tanah menunjukkan perubahan vegetasi yang drastis, dari lingkungan yang didominasi pepohonan menjadi padang rumput terbuka. Namun, di tengah perubahan besar itu, teknologi alat batu tetap dipertahankan sepanjang periode tersebut.

Sementara itu, David R. Braun dari Universitas George Washington menyebut situs Namorotukunan sebagai kisah luar biasa tentang kesinambungan budaya.

Jejak Ketahanan Manusia

Riset ini bukan sekadar catatan arkeologi masa lalu, melainkan cermin ketahanan manusia menghadapi perubahan lingkungan yang ekstrem.

“Studi ini, yang menghubungkan perangkat sederhana dengan kecerdikan manusia, mengingatkan kita bahwa nenek moyang kita telah berhasil menghadapi dan bertahan hidup dari tantangan lingkungan,” kata Villaseñor.

Ia menambahkan, pelajaran dari masa lalu ini relevan dengan situasi masa kini yang juga diwarnai perubahan iklim dan bencana alam.

“Kita dapat bertahan hidup apa pun yang akan terjadi di masa depan; kita mungkin hanya perlu menengok ke masa lalu,” sambungnya.

Melalui jejak bebatuan tajam di tepi sungai kuno di Kenya, manusia modern diingatkan bahwa adaptasi, kreativitas, dan pemanfaatan teknologi—sekecil apa pun—adalah kunci untuk terus bertahan.