Gaya HidupPolitik

Hari Ibu 2025: Perempuan, Kepedulian, dan Masa Depan Bumi

9
×

Hari Ibu 2025: Perempuan, Kepedulian, dan Masa Depan Bumi

Sebarkan artikel ini
Hari Ibu 2025 Perempuan, Kepedulian, dan Masa Depan Bumi, foto:(dok.@puanmaharaniri)

detak.co.id, Jakarta – Tanggal 22 Desember selalu mengingatkan pada sosok ibu, pada tangan yang merawat, suara yang menenangkan, dan perhatian yang sering kali bekerja dalam diam. Namun di Indonesia, Hari Ibu menyimpan makna yang lebih luas dari sekadar perayaan keluarga. Ia lahir dari kesadaran kolektif perempuan untuk ikut menentukan arah kehidupan bangsa.

Sejarah mencatat, hampir satu abad lalu, perempuan-perempuan Indonesia berkumpul dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada Desember 1928.

Dari ruang sederhana di Yogyakarta, mereka menyuarakan tekad: perempuan tidak lagi berada di pinggir sejarah.

Semangat itulah yang kembali diangkat Ketua DPR RI Puan Maharani dalam peringatan Hari Ibu 2025.

Baginya, perjuangan perempuan hari ini menemukan relevansi baru ketika dihadapkan pada persoalan keberlanjutan tentang bumi yang diwariskan, dan kehidupan yang hendak dijaga.

“Keberlanjutan bukan hanya soal alam, tetapi tentang masa depan manusia,” ujar Puan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (22/12/2025).

Sebagai perempuan dan seorang ibu, Puan menekankan bahwa kedekatan perempuan dengan kehidupan memberi perspektif yang khas. Dari rahim perempuan kehidupan bermula.

Dari tangan perempuan, anak-anak tumbuh dan belajar mengenali dunia. Pengalaman itu, menurut Puan, membentuk kepekaan terhadap dampak jangka panjang dari setiap keputusan.

Ketika perempuan berbicara tentang lingkungan, yang terbayang bukan sekadar angka emisi atau luasan hutan, melainkan udara yang dihirup anak-anak, air yang diminum keluarga, dan tanah yang kelak diwariskan kepada cucu-cicit.

Namun kepedulian saja tidak cukup. Puan menilai suara perempuan harus hadir di ruang-ruang tempat keputusan dibuat.

Sebab kebijakan tentang tata ruang, energi, hutan, dan air akan menentukan apakah kehidupan tetap berlanjut secara layak atau justru meninggalkan beban bagi generasi berikutnya.

Perempuan, katanya, tidak diminta menggantikan peran siapa pun. Kehadiran perempuan justru untuk melengkapi cara pandang, agar pembangunan tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.

Terlebih, hampir setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, dengan kebutuhan dan pengalaman hidup yang tak selalu sama.

Di sinilah Hari Ibu menemukan maknanya hari ini. Bukan sekadar mengenang perjuangan masa lalu, tetapi menegaskan tanggung jawab masa depan.

Dari rumah hingga parlemen, dari peran pengasuhan hingga pengambilan keputusan, perempuan membawa satu pesan yang sama: kehidupan harus dijaga.

“Ketika perempuan ikut dilibatkan, alam ikut dilestarikan. Ketika perempuan ikut memutuskan, masa depan ikut diselamatkan,” jelas perempuan pertama yang menjabat Ketua DPR RI ini.

Kalimat itu bukan sekadar penutup pidato. Ia adalah ajakan. Agar perempuan Indonesia terus berdaya, mengubah gagasan menjadi aksi, dan memastikan bumi tetap menjadi rumah yang aman bagi generasi yang belum lahir.