Dalam sistem ekonomi yang sehat dan etis, pasar idealnya bersifat terbuka, kompetitif, dan memberikan ruang yang sama bagi semua pelaku usaha.
Namun kenyataannya, banyak komoditas vital seperti beras, minyak goreng, gula, pupuk, bahkan obat-obatan dikuasai oleh segelintir pemain besar yang memiliki akses terhadap logistik, distribusi, dan modal.
Akibatnya adalah Pilihan masyarakat menjadi terbatas, Harga tidak lagi dikendalikan oleh permintaan dan penawaran yang wajar, dan Terjadi praktik harga sepihak dan kelangkaan buatan.
Kasus kelangkaan minyak goreng pada tahun 2021–2022 menjadi contoh nyata. Meskipun stok nasional aman, masyarakat kesulitan mendapatkan barang tersebut karena distribusi dikuasai oleh perusahaan tertentu yang bermain harga dan pasokan.
Situasi seperti ini jelas mengabaikan prinsip ‘adl (keadilan distribusi) dan bertentangan dengan spirit ekonomi etis, yang mengutamakan kemaslahatan bersama, bukan kepentingan elit ekonomi.
Catatan Penting: Monopoli oleh Negara untuk Kemaslahatan Publik
Namun, tidak semua bentuk monopoli dilarang. Dalam kondisi tertentu, negara dibolehkan untuk memonopoli pengelolaan barang strategis atau layanan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak, asalkan dengan tujuan untuk Melindungi masyarakat dari eksploitasi pasar, Menjaga stabilitas pasokan dan harga, Menjamin keadilan distribusi barang.
Contohnya adalah Pemerintah memonopoli distribusi BBM bersubsidi melalui Pertamina, Pengelolaan Listrik oleh PLN, Penyaluran pupuk bersubsidi dikontrol oleh BUMN tertentu, Pengadaan vaksin dan alat kesehatan saat pandemi dikuasai pemerintah agar tidak terjadi penimbunan dan mafia harga.
Prinsip ini dikenal dalam fiqih muamalah sebagai “tasarruful imam ‘ala ar-ra‘iyyah manuthun bil maslahah” tindakan penguasa terhadap rakyat harus bergantung pada kemaslahatan mereka.
Artinya, monopoli oleh negara diperbolehkan selama dilakukan demi kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan elite politik atau pejabat negara.
Monopoli oleh pihak swasta tanpa pengawasan menciptakan ketimpangan dan eksklusi ekonomi.
Namun monopoli oleh negara untuk menjaga akses dan keadilan atas barang-barang strategis justru bisa menjadi instrumen perlindungan masyarakat — jika dijalankan secara transparan, profesional, dan akuntabel.